Perbedaan Pertumbuhan Tumbuhan di Tempat Gelap dan Terang – kumparan.com kumparan.com

Informasi Tentang Universitas Di Indonesia Dan Seluruh Dunia
Perbedaan Pertumbuhan Tumbuhan di Tempat Gelap dan Terang – kumparan.com kumparan.com
Pascagempa bumi 5,6 M yang mengguncang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat sejumlah monyet ekor panjang turun ke pemukiman warga. Monyet liar itu berkeliaran di permukiman warga di Kampung Gunung Putri, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Periset Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Fikom Universitas Padjajaran (Unpad) Herlina Agustin mengungkap, diduga habitat monyet tersebut rusak akibat terdampak gempa bumi.
“Menurut saya habitatnya rusak karena gempa, jadi dia juga cari makanan dan cari tempat baru setelah habitatnya rusak. Cianjur memang banyak habitatnya, seperti di Cugenang ada tempatnya,” kata Herlina kepada detikJabar dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (30/11/2022).
Herlina menyebut, monyet-monyet yang turun ke pemukiman itu belum memiliki tempat baru untuk ditinggali. “Mungkin mereka sekarang lagi cari tempat karena posisinya memang belum menetap setelah habitatnya kemarin rusak akibat gempa dan longsor,” ungkap Herlina.
Menurutnya, monyet merupakan hewan herbivora atau pemakan tumbuhan sehingga mereka harus melintasi permukiman demi mendapatkan tempat tinggal baru yang bisa memenuhi kebutuhan makanannya. Tempat yang nyaman dibutuhkan agar mereka juga bisa berproduksi. “Bisa reproduksi dan bisa makan, kemungkinan dia akan cari tempat tersedia makanan yang banyak seperti daun dan buah,” terangnya.
Herlina meminta masyarakat jangan memberi makan kepada monyet-monyet tersebut. Hal itu dilakukan agar insting liar monyet ekor panjang itu tidak hilang.
“Jangan dikasih makan sama manusia dikhawatirkan jadi agresif. Nanti mereka juga bakal cari tempat yang paling pas. Saya khawatirkan mereka dekat dengan manusia tapi liar, juga korek-korek sampah,” jelasnya Herlina.
Sebelumnya, Niko Rastagil yang merupakan warga sekitar mengatakan, monyet-monyet liar tersebut berlompatan di atas genting dan kebun warga untuk mencari makanan.
“Efek gempa, monyet turun dan berkeliaran di pemukiman. Ada sekitar 10 ekor monyet yang berkeliaran sejak kejadian gempa sampai hari ini,” ujar Niko, Selasa (29/11).
Menurut Niko, kawanan monyet tersebut biasanya turun jika ada bencana, terutama gempa bumi. Kosongnya rumah-rumah warga lantaran sebagian besar penghuninya mengungsi membuat monyet berani turun ke pemukiman. “Warga sini percaya kalau monyet turun akan ada bencana. Kalau sekarang kan memang masih ada gempa susulan, makanya mereka turun karena merasa terancam di habitatnya. Apalagi pemukiman warga kan kosong, karena warga mengungsi di tenda,” kata Niko.
Dia mengatakan kawanan monyet tersebut mengambil makanan yang ada di dalam rumah warga hingga di kebun warga. “Mereka ada yang ngambil makanan di dalam rumah, ada juga yang turun ke kebun warga untuk cari makanan. Pada dasarnya mereka kelaparan, sedangkan di habitatnya dianggap tidak aman karena gempa susulan terus,” ucap Niko.
(ral/iqk)
Telaga Sarangan merupakan destinasi wisata andalan di Magetan. Telaga ini juga dikenal dengan nama Telaga Pasir.
Telaga Sarangan berada di lereng Gunung Lawu. Tepatnya di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Secara administrasi, Telaga Sarangan masuk Desa Sarangan, Kecamatan Plaosan.
Telaga Sarangan terbentuk secara alami dengan luas sekitar 35 hektare. Uniknya, di tengah telaga ada pulau yang rindang dengan tumbuhan liar.
“Luas telaga sekitar 35 hektare dan di tengahnya ada pulau kecil luas sekitar 3 ribu meter persegi, yang dikelilingi oleh perahu speed boat yang dinaiki pengunjung Telaga Sarangan,” ujar Sesepuh Kelurahan Sarangan, Soetowo kepada detikJatim, Kamis (10/11/2022).
Soetowo juga Kepala Dusun Ngluweng di Kelurahan Sarangan. Ia menjelaskan, masyarakat sekitar telaga menganggap pulau di tengah telaga sebagai tempat keramat.
Pulau di tengah Telaga Sarangan dipercaya sebagai tempat bersemayam roh leluhur yakni Kiai Pasir dan Nyai Pasir.
“Jadi keberadaan Kiai Pasir dan Nyai Pasir sampai saat ini belum ada yang mengetahui karena hanya cerita. Tapi masyarakat Magetan percaya bahwa saat ini Kiai Pasir dan Nyai Pasir selalu menjaga dan menunggu Telaga Sarangan,” ungkap Soetowo.
Telaga Sarangan berjarak sekitar 16 kilometer dari Kota Magetan. Menurut Soetowo, telaga ini sudah ada sejak tahun 1438. Telaga Sarangan sempat disebut Telaga Pasir karena tak bisa dilepaskan dengan legenda Kiai Pasir dan Nyai Pasir.
“Memang Telaga Sarangan dulu juga disebut Telaga Pasir namanya. Tapi seiring waktu masyarakat menyebut Telaga Sarangan karena nama kelurahannya Sarangan,” jelas Soetowo.
“Nama Telaga Sarangan ada sejak tahun 1438 dan memang tidak lepas dari legenda Nyai Pasir dan Kiai Pasir,” sambungnya.
Warga sekitar percaya, Kiai Pasir dan Nyai Pasir telah mukso (moksa) atau menghilang bagai ditelan bumi. Warga juga percaya, Kiai Pasir dan Nyai Pasir menjadi penunggu Telaga Sarangan hingga saat ini.
“Ceritanya konon itu Kiai Pasir dan Nyai Pasir itu mukso atau hilang lenyap dan tanpa bekas. Namun saat ini masyarakat mempercayai masih menunggu Telaga Sarangan ini,” kata Soetowo.
Lebih lanjut Soetowo bercerita, Kiai Pasir memiliki dua nama lain, yakni Kiai Mundir dan Kiai Jailelung. Nyai Pasir juga memiliki dua nama lain yakni Nyai Ramping dan Nyai Werdiningsih.
Menurut Soetowo, setiap tahun ada ritual di Telaga Sarangan dengan labuh sesaji. Ritual labuh sesaji disebut larungan tumpeng gonobau serta hasil bumi dari masyarakat Sarangan, sebagai wujud syukur atas panen melimpah.
Air yang mengalir masuk ke Telaga Sarangan berasal dari sumber mata air Godangan Gede. Kepala Kelurahan Sarangan, Prima Suhardi Putra menjelaskan, pengairan Telaga Sarangan masuk wilayah Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo. Bendungan pintu air dibangun sejak zaman Belanda.
“Pintu air ada sejak zaman Belanda dan untuk pengelolaan air oleh BBWS,” kata Prima.
Simak Video “Ayam Panggang Magetan, Racikan Bumbu Rujak dan Selera Gurih Bawang“
[Gambas:Video 20detik]
(sun/bdh)